Senyum yang Sama
Marikapal, desa tujuan selanjutnya. Jalur laut masih menjadi satu-satunya penghubung dengan Desa Kakupang. Jadi, tidak ada pilihan lain selain menggunakan perahu cepat.
Agak miris memang, padahal keduanya masih dalam satu pulau yang sama. Untungnya, warga Kakupang berbaik hati bersedia menghantar kami beserta logistik selama menetap di desa Marikapal.
Selama perjalanan kami disuguhi pemandangan lereng-lereng tebing, jernihnya air laut serta jejeran pantai pasir putih dan pulau-pulau kecil nan indah. Cuaca pun tidak terlalu buruk. Meski terkadang sedikit gelombang kecil menghentak perahu.
Sesampai di desa, warga terlihat sangat terbuka menyambut datangannya kami. Seperti kejadian yang terulang kembali. Dengan senyum yang sama, senyum yang mengingatkan kami dengan desa sebelumnya. Senyum yang kami takutkan akan membawa kesedihan ketika berpisah nanti.
Memori Lima Hari
Senin. Tak terasa hari ini menjadi hari terakhir kami di Kakupang, setelah enam hari bersama warga desa menjalankan program-program kami. Mulai dari sektor pendidikan, lingkungan, ekonomi sampai kesehatan.
Foto bersama warga Kakupang, saat tim menuju desa berikutnya. (foto/lng) |
Besoknya dilanjutkan dengan kegiatan bersih-bersih serta menaman pohon di area sekitar sekolah. Bibit-bibit pohon ini kami datangkan langsung dari Ternate serta sebagian dibawa dari Labuha. Usai menanam, para siswa diajarkan baris berbaris. Tak sampai disitu, kegiatan dilanjutkan dengan menggambar, mewarnai serta tidak ketinggalan menyanyikan lagu-lagu nasional dan daerah.
Menanam pohon, salah satu program bidang lingkungan. (foto/lng) |
Minggu. Hari ini jadi harinya bidang kesehatan. Dari pagi sampai siang hari, mulai dari pemberian gizi, demonstrasi hidup bersih dan sehat serta mengajarkan cara menggosok gigi yang baik dan benar sampai pemeriksaan gratis di pos kesehatan setempat bagi warga desa.
Kesannya, hari-hari kami hanya dihabiskan untuk menjalankan program. Bahkan sampai hari terakhir pun masih sibuk mengajar di sekolah. Tapi sebenarnya waktu kami bukan melulu untuk bekerja. Kami pun sempat bertamasnya dengan siswa sekolah dasar dan warga desa ke pulau pasir putih Babating. Salah satu potensi wisata yang harusnya bisa dikelola dengan baik.
Kecerian bersama murid SD Marakoko dan warga Kakupang di Pulau Babating. (foto/lng) |
Begitulah sedikit cerita singkat kami di Desa Kakupang. Memori indah dalam ekspedisi terukir lima hari disini. Warga yang santun, anak-anak yang penuh keceriaan, mewarnai hari-hari kami. Terimakasih Kakupang.
Disambut dengan Senyuman
Sambutan dari warga Desa Kakupang. (foto/lng) |
Berjuang Melawan Ombak
Kapal cepat, sarana transportasi yang digunakan tim ekspedisi menuju Desa Kakupang. (foto/lng) |
Suasana didalam kapal cepat. (foto/lng) |
Ekspedisi di Negeri Batu Akik
Tim ENJ Malut dalam perjalanan balik ke pulau Bacan. (foto/lng) |
"Berat dipikul bersama, ringan dipikul bersama." Tak ada bedanya, itulah inti dari pola pikir mereka. Membangun kerjasama tidak lebih dari tiga hari. Namun, sekali lagi, itu bukanlah halangan. Mereka cepat berbaur, laiknya keluarga yang sudah ditakdirkan bersama.
Daratan dijelajahi, lautan diseberangi bahkan langit pun tak mampu jadi penghalang. Semua itu demi satu, demi cinta mereka terhadap bangsa, terhadap Indonesia.
Aku Tertipu Belaimu
Siang hari menjelang sore. Semula tak bermaksud untuk jalan-jalan. Sampai mataku tertarik dengan sosok cantik yang datang dari arah depan.
Aneh, dia menatapku. Dengan sorot mata penuh makna. Dalam hati aku bertanya-tanya, "Ada apa gerangan. Apa niat terpendamnya? Sampai-sampai melihatku seakan menginginkan sesuatu."
Tiba-tiba, dalam langkah ringan, kakinya mulai menjelajahi setapak demi setapak jalan. Sangat meyakinkan. Menuju ke arahku. "Aku harus berbuat apa? Jangan sampai aku salah tingkah hanya karena wajahnya yang manis," bisikku dalam hati.
"Ah!" Dia menggerayangi kakiku tanpa bersuara sedikitpun. Entah maunya apa.
Menggunakan kepala, tangan, sampai kakinya, dieluskan ke bagian bawah tubuhku yang sejak dia datang, reflek duduk.
Sensasi yang jarang kunikmati. Sensasi belaian kucing lapar yang pandai memelas ini. Sungguh, beberapa tahun kebelakang ini, aku sendiri jarang dibelai kucing. Dirimulah kucing pertama yang berdamai denganku.
Sayangnya, aku terlalu lama menyadari setelah kejadian itu, bahwa kau lelaki. Kucing jantan yang menyamar. Aku tertipu.
Anak Kampoeng, Sebuah Cita-cita Membangun Bangsa
Kata orang, Indonesia adalah bangsa yang besar. Ditakdirkan memiliki kekayaan alam, lautan yang luas, pulau yang berjejeran, serta manusia yang tidak sedikit nan beragam. Masalahnya, masih belum ataupun masih sedikit orang yang mampu mengolah kekayaan tersebut.
Orang yang dimaksud tidak melulu berasal dari para pemimpin negeri. Ataulah yang berasal dari kaum elit negeri. Mengolahnya pun tak melulu soal kekayaan alam, membangun sumber daya manusia juga sangat penting.
Era anak daerah menginvasi kota boleh jadi sebuah pertanda. Keberhasilan mereka adalah contoh bangunan yang benar. Dibangun dari fondasi yang kokoh. Tak sedikit dari mereka bahkan memulai dari usia muda.
Keberhasilan seperti ini harusnya dapat terus dijaga keberlangsungannya. Pertanyaannya, dengan cara seperti apa? Salah satu jalannya yaitu tetap melibatkan pendidikan serta didukung dengan dorongan aktif para pemuda. Kuno memang, tapi paling efektif sejauh ini dan sudah terbukti.
Para pemuda bisa turut berpartisipasi mendukung peningkatan kemajuan pendidikan. Berkaca dari beberapa organisasi tenar yang berhasil melibatkan banyak pemuda dengan turut serta menyebarkan virus pendidikan, sudah pasti pemuda tetap menjadi sebuah acuan.
Semuanya bisa kita mulai dari hulunya. Dari daerah pemuda berasal. Dari kampung yang ia tempati, bahkan dari rumah yang dia tinggali. Konsepnya, seorang ataupun sekelompok pemuda dari satu kampung yang sama, membagi ilmu mereka untuk masyarakat di wilayahnya.
Kegiatan ini, saya istilahkan "Anak Kampoeng" (baca: anak kampung atau anak kampong) dalam pengartian yang baik. Persis seperti kutipan familiar Abraham Lincoln, dari pemuda di kampung, oleh pemuda di kampung dan untuk masyarakat di kampung. Sebuah cita-cita membangun bangsa bisa dimulai dari seorang anak kampung.