"BBM naik, sakitnya tuh disini. Sakit.., sakit.., sakitnya tuh disini," nyayi sambil nunjuk dompet.
Harga BBM resmi naik hari ini. Perbedaan itu berasa setelah bangun tidur, makan, mandi, lalu ke kampus dengan modal sisa bensin kemarin. Sampai setengah jalan ternyata habis, jadi singgahlah di depot bensin terdekat. Sambil menerima kenyataan harga eceran sudah di angka Rp 10.000,-, sakit.., sakit.., sakitnya tuh di saku. Baru sadar akan kenyataan, mengapa mahasiswa mendemo bahkan sampai ricuh.
Harga BBM mengesampingkan kesetaraan, Pak Jokowi anda tegaan. Tak tanggung-tanggung, bukan Rp 500,-, Rp 1000,-, atau maksimal Rp 1500,- tapi Rp 2000,- coba?
Mungkin dalam hitungan minggu, harga kebutuhan pokok ikutan naik dengan alasan harga BBM naik. Dan dalam beberapa bulan pasti ada demo. Demo minta kenaikan upah, mengapa? Alasannya hampir sama, karena harga sembako telah naik. Juga PNS, suatu saat pasti teriak (dalam hati) harga yang naik. Jadi minta gaji atau tunjangan naik. Bebannya pasti kembali ke Pemerintah. Ujung-ujungnya BBM naik lagi!? Begitukah?
Jadilah sakitnya bukan lagi disini, tapi disana.., disana.., dimana-mana sakit. Bukan lagi sakit di saku, dompet tapi bertambah sakit di kepala, hati dan lainnya.
"BBM naik, sakitnya tuh dimana-mana. Sakit.., sakit.., sakitnya tuh dimana-mana," nyayi sambil nunjuk apa saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar